Halaman

Sabtu, 07 September 2013

Nama: Selvi Wijaya

Kelas: B

Dosen: Santo Tjhin


Sumber:
  • Buku "Rumah Iklan" 
  • Bincang Media
 
Sejarah Iklan 
Iklan adalah fenomena kontemporer abad 20, namun cikal bakal periklanan sesungguhnya sudah ada sejak berabad-abad lalu. Periklanan dalam arti sederhana diawali ketika orang mulai hidup pada kelompok-kelompok kecil dan mencoba mempengaruhi orang lain untuk membeli barang komoditas sehari-hari. Selanjutnya periklanan semakin meluas berkat pengembangan teknologi mesin cetak di Eropa pada tahun 1455 dan gelombang Revolusi Industri pada abad 18 yang mempercepat akses bisnis dan memperluas pasar industri. 

Dalam masyarakat modern, iklan diartikan sebagai salah satu bentuk informasi terbaru kepada konsumen mengenai berbagai komoditas dan dorongan-dorongan kebutuhan tertentu yang bertujuan untuk menjaga tingkat produksi (Konig; dalam Schudson, 1986: 196). William F Arens (1999: 7) mendefinisikan iklan sebagai struktur informasi dan susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang aneka produk (barang, jasa dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi melalui berbagai macam media. Frank Jefkins dalam bukunya Advertising (1997) mengelompokkan ragam iklan menjadi tujuh kategori, yakni (1) iklan konsumen, (2) iklan bisnis ke bisnis atau iklan antarbisnis, (3) iklan perdagangan, (4) iklan eceran, (5) iklan keuangan, (6) iklan langsung, dan (7) iklan lowongan kerja.
 Dunia periklanan mengalami perkembangan pesat setelah besinergi dengan teknologi Sepanjang abad 20, periklanan muncul pada lima media utama yaitu; suratkabar, majalah, radio, televisi, dan media outdoor (billboard-sebagian orang menyebutnya reklame). Meski kelima media ini tetap bisa menjangkau jumlah besar orang, namun saat ini lebih banyak pilihan tersedia.

 Periklanan di Indonesia: dari Masa ke Masa
Menurut Bondan Winarno dalam buku ”Rumah Iklan”, sejarah periklanan di Indonesia lahir seiring sejarah kelahiran suratkabar. Koran pertama milik Belanda Bataviaasche Nouvelles, saat terbit sebagian besar isinya adalah iklan tentang perdagangan, pelelangan, dan pengumuman resmi pemerintah Hindia Belanda. Iklan suratkabar waktu itu umumnya menampilkan produk-produk yang dikonsumsi masyarakat kelas atas. Sebuah toko P&D (provisien en drunken = kebutuhan makan dan minum) misalnya, mengumumkan lewat suratkabar tentang kedatangan kapal dari Negeri Belanda yang membawa mentega dan keju stok baru. Cerutu dan bir juga merupakan komoditas impor pada masa itu, dan sering diiklankan di suratkabar (Winarno, 2008: 10).

Menurut Winarno (2008: 11-12), etnis Tionghoa yang terlibat dalam bisnis media cetak di Indonesia juga mengembangkan bidang periklanan. Yap Goan Ho misalnya, seorang yang bertahun-tahun bekerja sebagai copywriter di perusahaan periklanan dan suratkabar De Locomotief (Semarang), akhirnya mendirikan perusahaan sendiri di Jakarta. Perusahaaannya dikontrak secara khusus oleh suratkabar berbahasa Melayu, Sinar Terang, dengan tujuan untuk mendatangkan iklan bagi suratkabar. Orang-orang pribumi juga turut mewarnai perkembangan industri periklanan di tanah air, seperti R.M Tirto Adisoerjo (Medan Prijaji), Tjokroaminoto (Sinar Djawa), M. Sostrosijoto (Medan Moeslimin), Abdoel Moeis (Neratja), Hendromartono (Mardi Hoetomo), S. Soemodihardjo (Economic Blad), dan lain-lain.

 Setelah merdeka, dasawarsa tahun 1970-an merupakan kebangkitan periklanan modern Indonesia setelah sekian lama ditelan oleh gejolak politik yang melumpuhkan berbagai sektor ekonomi. Pada masa itu perusahaan-perusahaan multinasional masuk Indonesia memanfaatkan kebijakan baru di bidang Penanaman Modal Asing. Maraknya produk-produk yang diluncurkan ke pasar oleh industri bermodal asing ini membuka peluang bagi dunia periklanan untuk beroperasi. Demikian juga media-media untuk beriklan semakin marak.

 Sebelumnya iklan di televisi (dalam hal ini TVRI) sempat menjadi primadona selain suratkabar, namun dengan kematian iklan televisi pada tahun 1981 yang ditandai dengan penghentian ”Manasuka Siaran Niaga” , giliran radio menuai hasilnya. Tahun 1981-1988 adalah zaman keemasan radio swasta memperoleh iklan sampai akhirnya pada tahun 1988 RCTI membuka ruang bagi kelahiran televisi swasta lain yang sangat berpengaruh pada peta periklanan di Indonesia.

 Kurang lebih sepuluh tahun kemudian, berbarengan dengan berbagai krisis yang terjadi di tanah air, terjadi deregulasi pada dunia pertelevisian dengan munculnya SK Menpen No. 286/1999 dan Izin Frekuensi dari Direktorat jenderal Pos dan Telekomunikasi. Dari kebijakan ini, televisi swasta terus bermunculan disusul berdirinya televisi-televisi daerah. Meski televisi daerah belum mamapu memperoleh banyak pengiklan, namun televisi-televisi besar (yang waktu itu disebut televisi swasta nasional) benar-benar mengeruk kue iklan dalam jumlah yang sangat besar dibanding media lain.

NB: ini sebagai selingan saja ya. Iklan berdurasi kurang lebih 5 menit ini menjadi salah satu favorit saya. Walaupun terbilang cukup lama untuk durasi iklan nya, tetapi disini ada alur cerita nya sehingga tidak bosan saat ditonton. Justru sangat lucu dan kreatif sekali. I'm really love this one, always makes me laugh out loud :)



TheresiamazeRoutine