Nama: Selvi Wijaya (915120054)
Kelas: B (Dasar - dasar Periklanan)
Dosen: Santo Tjhin
Sumber:
- Buku PERIKLANAN Perspektif Ekonomi Politik
Summary:
- Bagian V - Iklan dan Transformasi
Bab ke lima ini menjelaskan peran ilmu pengetahuan
dalam praktek periklanan, berbagai perubahan yang terjadi di seputar praktek
periklanan, perubahan pola konsumsi masyarakat, penyerapan nilai-nilai budaya
dalam kepentingan ekonomi, serta dampak reformasi terhadap wajah pertelevisian
di Indonesia.
KOLABORASI ILMU
Kita sering melihat berbagai iklan dengan cuplikan
indah, warna-warni yang menarik, atau dengan gagasan-gagasan luar biasa yang
terkadang tidak pernah terpikirkan oleh kita, hingga membuat mata terbelalak
dan memori menyerapnya. Keahlian dalam menciptakan ‘karya seni iklan’ tidak
bisa diperoleh tanpa dukungan ilmu pengetahuan.Iklan bukan hanya sekedar
tayangan iklan komersial, iklan merupakan perpaduan atau kolaborasi dari
berbagai ilmu yang tampil menjadi sebuah karya kreatif. Paling tidak ada
beberapa ilmu yang menopang iklan seperti, sosiologi, psikologi dan komunikasi.
Dalam ilmu sosiologi, ada kajian yang paling berguna
di periklanan, salah satunya adalah demografi sosial. Bagi seorang marketer/advertiser,
demografi sangat penting untuk menentukan suatu produk yang hendak dipasarkan.
Produk akan dianalisis terlebih dahulu seperti, siapa sasaran konsumen? Berapa
harga yang akan ditetapkan? Bagaimana cara pemasarannya? Dimana lokasi
penjualannya? Melalui analisis demografi, produsen memiliki informasi yang
dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan menyangkut produknya.
Karena itu, sukses atau tidaknya sebuah iklan bisa dianalisis dari seberapa
serius para pembuat iklan memandang demografi masyarakat. Misalnya, iklan
produk minuman ringan yang mengambil latar kehidupan perkotaan barangkali tidak
akan berdampak signifikan bagi konsumen yang berada di pedesaan.
Indikator kelas sosial juga berguna bagi praktek
periklanan karena tidak jarang perilaku seseorang dalam mengonsumsi sesuatu
sangat dipengaruhi oleh posisi mereka di dalam masyarakat atau pergaulannya.
Penjual atau pengiklan bisa menentukan produk mereka sesuai dengan class-based
market segments, ditambah dengan informasi mengenai penghasilan mereka.
Kategori life-style (studi tentang kepribadian) sangat berguna bagi periklanan. Nilai dan
segmentasi gaya hidup sebagai sebuah perilaku yang memengaruhi seseorang dalam
mengonsumsi produk. Kecenderungan seseorang mengonsumsi produk sangat variatif.
Ada yang mengonsumsi karena merek, kepopuleran produk, produk dianggap paling
unggul, atau karena loyalitas.
Ketika kita berbicara tentang sasaran konsumen, secara
ontologis konsumen pada dasarnya bersifat massa, heterogen, tidak saling
mengenal, dan tersebar dimana-mana. Komunikasi massa memberikan perspektif
tentang bagaimana iklan harus dibuat sebagai bentuk pesan yang sifatnya massal.
Dengan ilmu komunikasi, pesan periklanan diolah melalui berbagai pertimbangan.
Apakah pesan itu akan dikemas secara langsung atau tidak, disampaikan melalui
bahasa verbal atau non verbal, ditransmisikan melalui media cetak atau
elektronik, serta disampaikan kepada komunikan mana yang menjadi konsumennya.
Melalui dukungan ilmu pengetahuan, iklan telah
mengalami transformasi dalam berbagai segi, baik sebuah strategi pemasaran
maupun sebagai sebuah kajian keilmuan.
POLA KONSUMSI
Sebagai sebuah tempat pemasaran massa, pusat
perbelanjaan memperlihatkan pola konsumsi masyarakat yang mengalami
transformasi dari waktu ke waktu. Sebelum munculnya konsep mall atau
departement store, pasar tradisional merupakan sebuah tempat berbelanja dengan
desain sederhana dan tujuan yang sederhana pula. Munculnya konsep mall,
aktivitas berbelanja tidak diposisikan sebagai pola pemenuhan kebutuhan
melainkan menjadi aktivitas yang menyenangkan. Namun konsep mall dengan segala
yang mereka tawarkanpada akhirnya mengalami kejenuhan. Ruang-ruang belanja yang
tertutup seperti mall kini mulai digantikan dengan ruang terbuka hijau atau
lebih dikenal dengan sebutan city walk.
Pola konsumsi yang berubah juga terjadi di setiap
mini market. Seperti circle K, indomaret yang berlomba-lomba menjadikan tempat
mereka sebagai rumah kedua yang menyenangkan. Mereka menyediakan meja dan kursi
untuk bersantai bagi konsumennya, siapa lagi kalau bukan remaja sasarannya.
Saat ini transformasi lain dari konsumsi dan
periklanan juga terjadi beriringan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi. Seoran individu bisa mendapatkan barang yang ia inginkan dengan
menggunakan layanan akses cepatseperti, tokobagus.com, berniaga.com, atau
kaskus.com.
INKORPORASI BUDAYA
Secara harfiah, inkorporasi berarti menyatukan,
menggabungkan atau menjadi satu. Makna inkorporasi merujuk pada suatu proses
sosial kelas dominan yang mengambil elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat
dan menggunakannya untuk memperkuat status quo. Contoh, aktivitas graffiti atau
coretan dinding. Dalam wacana subkultur, graffiti dipandang sebagai bentuk
kritik, sindiran terhadap kekuasaan yang digores ke tembok-tembok jalanan,
akhirnya graffiti dipandang sebagai
kegiatan seni tanpa esensi perlawanan. Sejalanan dengan musik, mode
pakaian, atau tren populer. Iklan menjadi wahana transformasi bagi berbagai
aspek budaya yang ada. Lambat laun periklanan tidak hanya sebagai media promosi
sebuah produk, lebih dari itu, iklan difungsikan sebagai media konstruksi
budaya melalui gambar-gambar yang mereka tampilkan. Inkorporasi budaya dalam
iklan kemudian tidak lepas dari proses komodifikasi dengan memanfaatkan aspek
budaya itu sendiri.
DARI PANOPTIK MENUJU HIPNOTIK
Pada masa orde baru, paling tidak terdapat dua
wacana yang berkaitan dengan status informasi:
1. Informasi
dijadikan alat pemerintah untuk memetakan kelompok mana yang sejalan dengan
visi kekuasaan dan kelompok mana yang memiliki jalan berbeda.
2. Informasi
yang benar menjadi barang mahal karena saluran media sangat terbatas.
Masyarakat umum menjadikan televisi sebagai media utama dalam memperoleh
informasi, namun tidak tahu pasti apakah informasi yang mereka terima benar
atau tidak.
Sekarang tidak ada lagi cerita tentang keterbatasan
informasi, yang ada adalah pembudakan. Citra media sebagai alat panoptik juga
berubah menjadi alat hipnotik. Sensor tidak lagi dalam bentuk kasar seperti
melarang publikasi, memotong berita, mengganti dengan bahasa yang lebih halus,
tetapi sensor justru terjadi dalam berlimpahnya berita.
Sistem kormesial yang telah diterapkan, mau tidak
mau sumber keuangan media massa harus bertumpu pada seberapa banyak iklan yang
masuk ke kantong media tersebut. Disinilah berbagai komodifikasi diterapkan.
Ragam berita, film, musik, kuis, sinetron, ajang pencarian bakat atau
infotaiment, menghipnotis masyarakat menuju budaya baru yang biasa disebut
budaya populer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar